Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru (1966-1998) / Part 1

Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru (1966-1998) / Part 1

A. Masa Transisi 1966-1967

1. Aksi-Aksi Tritura

Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S/PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia.

Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya
keresahan masyarakat.

Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI,KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI
(wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat G 30 S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.

Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas. Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat yang lebih
dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2) membersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi presiden. Untuk menenangkan rakyat, Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI.
Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.

Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang
Malaysia (Kogam), yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.

Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya massa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Aksi-aksi tersebut, krisis nasional makin tidak terkendalikan.

Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri. Selain itu, mereka juga membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga presiden mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun
tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”.

2. Surat Perintah Sebelas Maret
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke Istana.
Belum lama Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen. Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang. Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang bersama-sama dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.
Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen. Basuki Rahmat, Brigjen. M Jusuf, dan Brigjen. Amir Machmud, yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib. Pada waktu itu Letnan Jenderal
Soeharto sedang sakit sehingga diharuskan beristirahat di rumah. Niat ketiga perwira itu disetujuinya. Mayjen. Basuki Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Letjen. Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”

Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara Presiden Soekarno dengan Letjen. Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik saat itu. Menurut Letjen. Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.

Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena, dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen. Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen. Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian
terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar.

Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugas, penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu mendapat dukungan dari rakyat, karena dengan
demikian salah satu di antara Tritura telah dilaksanakan.

Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G 30 S/PKI ataupun dianggap memperlihatkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian masalah itu.

Demi lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik. Dr. Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena. 

3. Dualisme Kepemimpinan Nasional
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Di satu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”,yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan
tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan, secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS. Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri
masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.

Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh Presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota
MPRS. Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggungjawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara (Pelnawaksara). Dalam Pelnawaksara itu Presiden mengemukakan bahwa Mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.

Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian
dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.

Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar
mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu, usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di
kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.

Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti. Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966. Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967. Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden
Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.